BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian perinatal yang disebabkan
oleh penyulit penyulit hipoksia janin dalam rahim antara lain dengan melakukan
pemantauan kesejahteraan janin.pada dasarnya pemantauan ini bertujuan untuk
mendeteksi ganguan yang berkaitan dengan hipoksia janin,seberapa jauh gangguan
tersebut,dan akhirnya menentukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut
Kardiotokografi(KTG)merupakan salah satu alat elektronik yang digunakan
untuk tujuan diatas,melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam
hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin.
Cara pemantauan ini bisa dilakukan secara langsung (invasif atau internal
yakni dengan alat pemantau yang dimasukan dalam rongga rahim atau secara tidak
langsung (non invasif atau eksternal) yakni dengan alat yang dipasang pada
dinding perut ibu. Pada saat ini cara eksternal yang lebih popular karena bisa
dilakukan selama antenatal ataupun intranatal, praktis, aman, dengan nilai
prediksi positif yang kurang lebih sama dengan cara internal yang lebih
invasif.
Laparoskopi dilakukan di bawah anestesi umum dan pusar perut
sebuah teleskop tipis dimasukkan ke dalam organ-organ intra-abdomen adalah
sebuah operasi berdasarkan tampilan prinsip.
Laparoskopi
1980 'dari sembilan puluhan sampai tengah operasi biasanya diterapkan untuk
tujuan diagnostik, meskipun sejalan dengan perkembangan teknologi di masa
terakhir, dengan meningkatnya frekuensi untuk pengobatan (operasi laparoskopi)
mulai dilaksanakan. Laparoskopi pada perut bagian bawah dengan 3 - 5 dan 10 mm
dimasukkan ke dalam lubang di semua jenis instrumen bedah memiliki kesempatan
untuk mencoba. Dengan metode ini, kandung empedu Bedah Umum, hernia inguinalis,
operasi refluks, Ginekologi: kista ovarium, kehamilan asing, fibroid,
endometriosis dan operasi urologi dalam meningkatkan tabung di nephrectomy
kalabilirliği hamil, kista ginjal, prostatektomi dilakukan.
1.2 Tujuan
Tujuan
pebuatan makalah ini adalah :
1.
Memenuhi tugas KDPK (Keterampilan Dasat Praktek Klinik)
2.
Memberi pengetian tentang kardiotokografi dan Laparoscopy
3.
Mengetahui persipan pemeriksaan diagnosis
kardiotokograpi dan laparoscopy.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kardiotokografi
Kardiotokografi merupakan salah satu alat elektronik
yang digunakan untuk tujuan melakukan pemantauan kesejahteraan janin melalui
penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya kontraksi
ataupun aktifitas janin.
2.2
Mekanisme Pengaturan
Denyut Jantung Janin
Frekuensi denyut jantung janin rata-rata sekitar 140
denyut/menit ( dpm) dengan variasi normal 20 dpm diatas atau dibawah nilai
rata-rata. Jadi nilai normal denyut jantung janin antara 120-160 dpm.
Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung janin antara lain melalui :
1. Sistem
saraf simpatis, sebagian besar berada dalam miokardium. Contoh rangsangan ;
dengan obat beta-adrenergik akan meningkatkan frekuensi denyut jantung,
menambah kekuatan kontraksi jantung, dan meningkatkan volume curahan jantung.
Dalam keadaan stres, sistem saraf ini berfungsi
mempertahankan aktifitas jantung.
Hambatannya,dengan obat propanolol akan menurunkan
frekuensi dan sedikit mengurangi variabilitas DJJ.
2. Sistem
saraf parasimpatis, terdiri atas serabut n. vagus yang berasal dari batang
otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA,VA,dan neuron yang terletak
diantara atrium dan ventrikel jantung. Rangsangan n.vagus,misalnya dengan
asetilkolin,akan menurunkan frekuensi DJJ, sedangkan hambatannya dengan atropin
akan meningkatkan frekuensi DJJ.
3. Baroreseptor,yang
letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan meningkat,reseptor
ini akan merangsang n. Vagus dan n.glosovaringeus,yang akibatnya akan terjadi
penekanan pada aktifitas jantung berupa penurunan frekuensi DJJ.
4. Kemoreseptor,
yang terdiri dari atas 2 bagian, yakni bagian perifer yang terletak di daerah
karodid dan korpus aorta serta bagian sentral yang terletak pada batang otak.
Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar O2 dan CO2 dalam
darah serta cairan otak. Bila kadar O2 menurun dan CO2 meningkat,
akan terjadi reflek dari reseptor sentral berupa takhikardi dan peningkatan
tekanan darah untuk memperlancar aliran darah,meningkatkan kadar O2
dan menurunkan kadar CO2. Keadaan hipoksia/hiperkapnea akan mempengaruhi
reseptor perifer dan menimbulkan refleks bradi kardi. Hasil interaksi dari
kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradi kardi dan hipertensi.
5. Susunan
saraf pusat. Variabelitas denyut jantung janin akan meningkat sesuai dengan
aktifitas otak dan gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktifitas otak
menurun maka variabilitas denyut jantung janin juga akan menurun. Rangasangan
hipotalamus akan menyebabkan takhikardi.
6. Sistem
hormonal juga berperan dalam pengaturan denyut jantung janin. Pada keadaan
stres,misalnya asfiksia, maka medula adrenal akan mengeluarkan epinefrin dan
norepinefrin dengan akibat takhikardi, peningkatan kekuatan kontraksi jantung
dan tekanan darah.
Karakteristik
Denyut Jantung Janin
Denyut jantung
janin dalam pemeriksaan kardiotokografi ada 2 macam :
1. Denyut
jantung janin basal (basal fetal heart rate), yakni frekuensi dasar (baseline
rate) dan variabilitas (variability) denyut jantung janin saat uterus dalam
keadaan istirahat (relaksasi)
2. Perubahan
periodik (reactivity), merupakan perubahan denyut jantung janin yang terjadi
saat ada gerakan janin atau kontraksi uterus
2.3 Pemeriksaan Kardiotokografi
Pemeriksaan KTG
biasanya dilakukan pada kehamilan resiko tinggi, dan indikasinya terdiri dari :
1. IBU
a. Pre-eklampsia-eklampsia
b. Ketuban pecah
c. Diabetes melitus
d. Kehamilan 40 minggu
e. Vitium cordis
f. Asthma bronkhiale
g. Inkompatibilitas Rhesus atau ABO
h. Infeksi TORCH
i. Bekas SC
j. Induksi atau akselerasi persalinan
k. Persalinan preterm
l. Hipotensi
m. Perdarahan antepartum
n. Ibu perokok
o. Ibu berusia lanjut
p. Lain-lain : sickle cell, penyakit
kolagen, anemia, penyakit ginjal, penyakit paru, penyakit jantung, dan penyakit
tiroid.
2. JANIN
a. Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
b. Gerakan janin berkurang
c. Suspek lilitan tali pusat
d. Aritmia, bradikardi, atau takikardi
janin
e. Hidrops fetalis
f. Kelainan presentasi, termasuk pasca
versi luar.
g. Mekoneum dalam cairan ketuban
h. Riwayat lahir mati
i. Kehamilan ganda
j. Dan lain-lain
2.4
Syarat Pemeriksaan KTG
1. Usia kehamilan 28 minggu.
2. Ada persetujuan tindak medik dari
pasien (secara lisan).
3. Punktum maksimum denyut jantung janin
(DJJ) diketahui.
4. Prosedur pemasangan alat dan
pengisian data pada komputer (pada KTG terkomputerisasi) sesuai buku petunjuk dari pabrik.
2.5 Persiapan Pasien
a.
Persetujuan tindak medik (Informed Consent) : menjelaskan indikasi, cara
pemeriksaan dan kemungkinan hasil yang akan didapat. Persetujuan tindak medik
ini dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien (cukup persetujuan lisan).
b.
Kosongkan kandung kencing.
c.
Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.
d.
Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter atau
gawat janin, ibu tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter / menit.
e.
Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan punktum
maksimum DJJ
f.
Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera setelah
kontraksi berakhir.
g.
Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di daerah
punktum maksimum.
h.
Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak,
pencet bel yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang dirasakan
oleh ibu selama perekaman KTG.
i.
Hidupkan komputer dan Kardiotokograf.
j.
Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil yang ingin
dicapai).
k.
Lakukan pencetakkan hasil rekaman KTG.
l.
Lakukan dokumentasi data pada disket komputer (data untuk rumah sakit).
m.
Matikan komputer dan mesin kardiotokograf. Bersihkan dan rapikan kembali alat
pada tempatnya.
n.
Beri tahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
o.
Berikan hasil rekaman KTG kepada dokter penanggung jawab atau paramedik
membantu membacakan hasi interpretasi komputer secara lengkap kepada dokter.
PARAMEDIK (BIDAN) DILARANG MEMBERIKAN INTERPRETASI HASIL CTG KEPADA PASIEN
2.6
Alat Kardiotokografi
Alat Kardiotokografi (CTG) atau juga
disebut Fetal Monitor adalah alat yang digunakan untuk memeriksa kondisi
kesehatan janin. Pemeriksaan umumnya dapat dilakukan pada usia kehamilan 7-9
bulan dan pada saat persalinan. Pemeriksaan CTG diperoleh informasi berupa
signal irama denyut jantung janin (DJJ), gerakan janin dan kontraksi rahim.
Pada saat bersalin kondisi janin dikatakan normal apabila denyut jantung janin
dalam keadaan reaktif, gerakan janin aktif dan dibarengi dengan kontraksi rahim
yang adekuat.
Apabila kemungkinan terdapat masalah pada janin maka
dokter akan melakukan pemeriksaan NST (non stress test) dengan memberikan infus
oksitosin untuk menimbulkan kontraksi rahim (his) dan denyut jantung janin
diperiksa dengan CTG. Apabila tampak kelainan pada hasil pemeriksaan CTG maka
dokter kandungan akan melakukan tindakan persalinan dengan segera.
Pemeriksaan dengan CTG sangat
diperlukan pada fasilitas pelayanan persalinan. Dengan adanya kemajuan
teknologi dan produksi harga peralatan CTG dapat menjadi lebih ekonomis. Dahulu
hanya rumah sakit yang menyediakannya. Sekarang tidak lagi! Agar pelayanan
pemantauan pada ibu hamil dan bersalin berjalan dengan baik rumah bersalin,
klinik dokter bahkan bidan praktek swasta sebaiknya memiliki CTG agar tidak ada
kasus keterlambatan dalam mendiagnosis adanya masalah pada ibu hamil dan
melahirkan.
2.7
Indikasi Pemeriksaan
1.
kehamilan dengan komplikasi (darah tinggi, kencing manis, penyakit infeksi
kronis dan lain-lain
2.
kehamilan dengan berat badan janin rendah
3.
oligohidramnion
4.
polihidramnion
2.8 Cara Pemeriksaan
1.
sebaiknya dilakukan dua jam setelah makan
2.
waktu pemeriksaan selama 20 menit
3. selama
pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu maupun bayi
4. bila
ditemukan kelainan pada pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan
pertolongan yang sesuai.
5. konsultasi langsung dengan dokter kandungan
2.9 Pengertian Laparoskopi
Laparoskopi adalah suatu instrumen untuk
melihat rongga peritoneum. Struktur rongga pelvik dan dapat juga dipakai untuk
tindakan operatif. Sejak pertama kali dicatat melihat rongga abdomen dengan
alat optic dengan dilakukannya incisi kuldotomi pada tahun 1901, konsep
visualisasi rongga pelvis baik untuk prosedur diagnostik maupun operatif
mengalami perkembangan yang pesat.
Kelling (1901) merupakan orang yang
pertama sekali menggunakan alat Sistoskopi Nitze yang telah ia
kembangkan untuk memeriksa organ dalam rongga abdomen. Selanjutnya Kelling
mendemonstrasikan pada hewan percobaan dengan melakukan pneumoperitoneum. Pada
waktu itu alat tersebut disebut dengan Celioskopi. Pada saat itu
metode Kelling ini hanya sedikit mendapat perhatian, tetapi kemudian Swede
Jakobaeus (1910) mengembangkan kembali ide Kelling ini dan kemudian
memperkenalkan suatu teknik baru yang dapat melihat rongga peritoneum dengan
alat optic yang disebut Laparoskopi.
Endoskopi ginekologi di Indonesia mulai
berkembang mulaik sekitar tahun 1990-an, sedangkan di dunia internasional
dimulai pada tahun 1970-an. Di Indonesia sekarang sudah mulai pesat
perkembangannya terutama di pusat-pusat kota, seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung, Semarang, Medan, dan Yogyakarta. Apalagi telah terbentuk Indonesian
Gynecologic Endoscopy Society (IGES), dan Satgas Endoskopi Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI).
2.10 Laparoskopi Meminimkan Sayatan
Teknologi dan teknik pembedahan pasien
terus mengalami perkembangan. Semuanya tentu demi pemulihan kesehatan pasien.
Termasuk penggunaan kamera video untuk melakukan bedah atau lebih dikenal
dengan teknik laparoskopi. Bedah dengan menggunakan kamera video sudah banyak
digunakan di berbagai rumah sakit di Tanah Air, termasuk Rumah Sakit Awal Bross
Batam, yang terus melakukan pengembangan untuk lebih memberdayakan alat
tersebut.
Menurut Assistant Business and Development
Manager RS Awal Bross Batam, Ingrid Sitawidjaja, alat tersebut bisa
dimanfaatkan untuk pembedahan berbagai penyakit, seperti operasi hernia,
varicocele, dan kelenjar gondok. “Perkembangan teknologi telah mengantarkan
dunia kedokteran, khususnya bedah, kepada efektivitas dan efisiensi. Teknik
bedah minimal invasif, laparoskopi misalnya, menjadi alternatif dari bedah
konvensional,” papar Ingrid.
Dengan teknik laparoskopi, proses
pembedahan tidak memerlukan sayatan panjang seperti dalam teknik konvensional.
Sayatan dalam pembedahan laparoskopi dibuat seminimal mungkin karena proses
penyembuhan di dalam tubuh menggunakan alat tertentu yang bisa dipantau secara
langsung oleh kamera. “Dengan demikian, banyak keuntungan yang diperoleh
pasien, antara lain hospitalisasi yang singkat, nyeri minimal, biaya murah, dan
mengurangi ileus,” ucap dia.
Awalnya, laparoskopi dilakukan untuk bedah
digestif atau bedah bagian perut dan saluran pencernaan. Belakangan, kasus yang
sering ditangani justru bukan hanya saluran pencernaan, melainkan juga
cholecystectomy atau pengangkatan kantong empedu dan appendectomy atau pengangkatan
usus buntu yang meradang.
Bedah laparoskopi juga bisa diterapkan
untuk kasus lengketnya usus, tumor usus, obesitas, hernia, dan kelenjar getah
bening. RS Awal Bross Batam juga sudah bisa menangani pembedahan pembesaran
kelenjar gondok dengan alat tersebut.
2.11
Pemeriksaan Laparoskopi
Istilah laparoskopi digunakan sebagai cara untuk melihat
rongga perut dengan bantuan laparoskop melalui dinding perut depan, yang
sebelumnya telah dilakukan pneumoperitoneum.
Laparoskopi sebenarnya telah lama dikenal dengan istilah
yang beraneka ragam, antara lain ventroscopy, kolioskopie, abdominoscopy,
peritoneoscopy, pelviscopy. Tetapi istilah yang terkenal saat ini ialah
laparoskopi atau pelviscopy.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan melakukan teknik
operasi laparoskopi antara lain : turunnya hari perawatan, luka operasi kecil
sehingga resiko infeksi lebih kecil
Sedangkan kerugiannya adalah operasi ini memerlukan
instrumentasi khusus dan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah
berpengalaman melakukan operasi laparoskopi.
2.11.1
Indikasi Pemeriksaan
1.
kemandulan yang sulit diterapkan dari luar
2.
terdapatnya endometriosis (tercecernya lapisan dalam rahim diluar tempat
sebenarnya
3.
kemungkina keganasan sedangkan tumornya cukup kecil
4.
pengambilan jaringan untuk memastikan kelainan dan penyakit yang diderita pada
alat kewanitaannya
2.11.2
Cara Pemeriksaan
1.
anjurkan pasien dalam posisi trendelenberg, dengan sudut kemiringan 25-25
derajat.
2. pantat
pasien harus lebih menjorok ke depan, melewati ujung meja, agar hidrotubator
yang telah dipasang sebelumnya dapat digerakkan bebas untuk manipulasi
tertentu.
3. harus
selalu dapat memanfaatkan hukum gaya berat dan gravitasi dalam operasi
2.11.3 Cara Penggunaan Laparoscopy
2.12 Penggunaan Laparoskopi Pada Kista Ovarium
Kista ovarium fisiologis merupakan massa
di ovarium yang paling umum ditemukan. Kista ini disebabkan oleh karena
kegagalan folikel untuk pecah atau regresi. Ukuran kista ovarium fisiologis ini
kurang dari 6 cm, permukaan rata, mobile dan konsistensi kistik. Keluhan dapat
berupa massa di daerah pelvik maupun ketidakteraturan haid. Terdapat beberapa
jenis kista fungsional yaitu kista folikuler, kista korpus luteum, kista teka
lutein dan luteoma kehamilan.
Penanganan kista ovarium dapat berupa
konservatif maupun operatif. Prosedur pembedahan perlu dilakukan untuk
mengetahui asal massa bila dari pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang
sulit menentukan asal massa tersebut. Pada tahun 1991, laparoskopi baru
digunakan baik sebagai alat diagnosa sekaligus sebagai terapi. Prosedur
pembedahan kista ovarium ini dapat berupa kistektomi dan salfingo-ooforektomi.
Kelebihan dari tindakan laparoskopi adalah trauma pada dinding abdomen dan
resiko perlengketan lebih minimal, waktu operasi lebih singkat dan masa
penyembuhan yang lebih cepat dibanding dengan laparotomi.
2.13 Penanganan Kista Ovarium dengan Laparoskopi
Penggunaan laparoskopi untuk penanganan
massa di pelvik meningkat satu dekade terakhir ini. Sampai tahun 1990 tidak
terdapat panduan secara umum mengenai penggunaan laparoskopi sebagai alat
diagnostik maupun terapi untuk kelainankelainan ginekologi. Pada tahun 1991 Dr.
Vicki Seltzer mengusulkan panduan penggunaan laparoskopi sebagai alat diagnosis
dan terapi. Hulka dkk melaporkan pada suatu survey, dilakukan 13,739 prosedur
laparoskopi untuk penanganan massa di ovarium 3. Penggunaan laparoskopi dalam
prosedur pembedahan untuk kista ovarium dapat berupa kistektomi dan
salfingoooforektomi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa,
laparoskopi merupakan cara operasi yang lebih aman, efektif, dan dapat
meminimalkan resiko seperti seperti perdarahan, infeksi dan cidera organ
sekitar dibandingkan bedah konvensional yang menggunakan metode laparotomi.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kardiotokografi merupakan salah satu alat elektronik
yang digunakan untuk tujuan melakukan pemantauan kesejahteraan janin melalui
penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya kontraksi
ataupun aktifitas janin. Laparoskopi
adalah suatu instrumen untuk melihat rongga peritoneum. Struktur rongga pelvik
dan dapat juga dipakai untuk tindakan operatif.
Persiapan
melakukan diagnosis kardiotokografi adalah sebagai berikut:
1. sebaiknya dilakukan dua jam setelah
makan
2. waktu pemeriksaan selama 20 menit
3. selama pemeriksaan posisi ibu
berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu maupun bayi
4. bila ditemukan kelainan pada
pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan pertolongan yang sesuai.
5. konsultasi langsung dengan dokter
kandungan
Cara
pemeriksaan diagnisis Laparoakopi sebagai berikut:
1. anjurkan pasien dalam posisi
trendelenberg, dengan sudut kemiringan 25-25 derajat.
2. pantat pasien harus lebih menjorok ke depan,
melewati ujung meja, agar hidrotubator yang telah dipasang sebelumnya dapat
digerakkan bebas untuk manipulasi tertentu.
3. harus selalu dapat memanfaatkan
hukum gaya berat dan gravitasi dalam operasi
Halo Intan,
BalasHapusterima kasih atas artikelnya yang informatif. Saya ingin tahu, kira-kira berapa banyak sih (%) fetal monitoring ini dilakukan di luar rumah sakit di Indonesia?
Dan juga biasanya di gunakan ante-natal atau peri natal?
Terima kasih.
Salam
Halo Intan,
BalasHapusterima kasih atas artikelnya yang informatif. Saya ingin tahu, kira-kira berapa banyak sih (%) penggunaan fetal monitoring ini di Indonesia?
Dan juga % yang dilakukan di luar rumah sakit (contohnya di klinik swasta/puskesmas) di Indonesia?
terima kasih