Senin, 22 April 2013

kardiotokografi dan laparoskopi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang 
Salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian perinatal yang disebabkan oleh penyulit penyulit hipoksia janin dalam rahim antara lain dengan melakukan pemantauan kesejahteraan janin.pada dasarnya pemantauan ini bertujuan untuk mendeteksi ganguan yang berkaitan dengan hipoksia janin,seberapa jauh gangguan tersebut,dan akhirnya menentukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut
Kardiotokografi(KTG)merupakan salah satu alat elektronik yang digunakan untuk tujuan diatas,melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin.
Cara pemantauan ini bisa dilakukan secara langsung (invasif atau internal yakni dengan alat pemantau yang dimasukan dalam rongga rahim atau secara tidak langsung (non invasif atau eksternal) yakni dengan alat yang dipasang pada dinding perut ibu. Pada saat ini cara eksternal yang lebih popular karena bisa dilakukan selama antenatal ataupun intranatal, praktis, aman, dengan nilai prediksi positif yang kurang lebih sama dengan cara internal yang lebih invasif.
Laparoskopi dilakukan di bawah anestesi umum dan pusar perut sebuah teleskop tipis dimasukkan ke dalam organ-organ intra-abdomen adalah sebuah operasi berdasarkan tampilan prinsip.
Laparoskopi 1980 'dari sembilan puluhan sampai tengah operasi biasanya diterapkan untuk tujuan diagnostik, meskipun sejalan dengan perkembangan teknologi di masa terakhir, dengan meningkatnya frekuensi untuk pengobatan (operasi laparoskopi) mulai dilaksanakan. Laparoskopi pada perut bagian bawah dengan 3 - 5 dan 10 mm dimasukkan ke dalam lubang di semua jenis instrumen bedah memiliki kesempatan untuk mencoba. Dengan metode ini, kandung empedu Bedah Umum, hernia inguinalis, operasi refluks, Ginekologi: kista ovarium, kehamilan asing, fibroid, endometriosis dan operasi urologi dalam meningkatkan tabung di nephrectomy kalabilirliği hamil, kista ginjal, prostatektomi dilakukan.
1.2 Tujuan
Tujuan pebuatan  makalah ini adalah :
1.      Memenuhi tugas KDPK (Keterampilan Dasat Praktek Klinik)
2.      Memberi pengetian tentang kardiotokografi dan Laparoscopy
3.      Mengetahui persipan pemeriksaan diagnosis kardiotokograpi dan laparoscopy.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Kardiotokografi
Kardiotokografi merupakan salah satu alat elektronik yang digunakan untuk tujuan melakukan pemantauan kesejahteraan janin melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktifitas janin.

2.2 Mekanisme Pengaturan Denyut Jantung Janin

Frekuensi denyut jantung janin rata-rata sekitar 140 denyut/menit ( dpm) dengan variasi normal 20 dpm diatas atau dibawah nilai rata-rata. Jadi nilai normal denyut jantung janin antara 120-160 dpm.
Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung janin antara lain melalui :
1.    Sistem saraf simpatis, sebagian besar berada dalam miokardium. Contoh rangsangan ; dengan obat beta-adrenergik akan meningkatkan frekuensi denyut jantung, menambah kekuatan kontraksi jantung, dan meningkatkan volume curahan jantung.
Dalam keadaan stres, sistem saraf ini berfungsi mempertahankan aktifitas jantung.
Hambatannya,dengan obat propanolol akan menurunkan frekuensi dan sedikit mengurangi variabilitas DJJ.
2.    Sistem saraf parasimpatis, terdiri atas serabut n. vagus yang berasal dari batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA,VA,dan neuron yang terletak diantara atrium dan ventrikel jantung. Rangsangan n.vagus,misalnya dengan asetilkolin,akan menurunkan frekuensi DJJ, sedangkan hambatannya dengan atropin akan meningkatkan frekuensi DJJ.
3.    Baroreseptor,yang letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan meningkat,reseptor ini akan merangsang n. Vagus dan n.glosovaringeus,yang akibatnya akan terjadi penekanan pada aktifitas jantung berupa penurunan frekuensi DJJ.
4.    Kemoreseptor, yang terdiri dari atas 2 bagian, yakni bagian perifer yang terletak di daerah karodid dan korpus aorta serta bagian sentral yang terletak pada batang otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar O2 dan CO2 dalam darah serta cairan otak. Bila kadar O2 menurun dan CO2 meningkat, akan terjadi reflek dari reseptor sentral berupa takhikardi dan peningkatan tekanan darah untuk memperlancar aliran darah,meningkatkan kadar O2 dan menurunkan kadar CO2. Keadaan hipoksia/hiperkapnea akan mempengaruhi reseptor perifer dan menimbulkan refleks bradi kardi. Hasil interaksi dari kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradi kardi dan hipertensi.
5.    Susunan saraf pusat. Variabelitas denyut jantung janin akan meningkat sesuai dengan aktifitas otak dan gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktifitas otak menurun maka variabilitas denyut jantung janin juga akan menurun. Rangasangan hipotalamus akan menyebabkan takhikardi.
6.    Sistem hormonal juga berperan dalam pengaturan denyut jantung janin. Pada keadaan stres,misalnya asfiksia, maka medula adrenal akan mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin dengan akibat takhikardi, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan tekanan darah.
Karakteristik Denyut Jantung Janin
Denyut jantung janin dalam pemeriksaan kardiotokografi ada 2 macam :
1.    Denyut jantung janin basal (basal fetal heart rate), yakni frekuensi dasar (baseline rate) dan variabilitas (variability) denyut jantung janin saat uterus dalam keadaan istirahat (relaksasi)
2.    Perubahan periodik (reactivity), merupakan perubahan denyut jantung janin yang terjadi saat ada gerakan janin atau kontraksi uterus

2.3  Pemeriksaan Kardiotokografi
Pemeriksaan KTG biasanya dilakukan pada kehamilan resiko tinggi, dan indikasinya terdiri dari :
1. IBU
a. Pre-eklampsia-eklampsia
b. Ketuban pecah
c. Diabetes melitus
d. Kehamilan 40 minggu
e. Vitium cordis
f. Asthma bronkhiale
g. Inkompatibilitas Rhesus atau ABO
h. Infeksi TORCH
i. Bekas SC
j. Induksi atau akselerasi persalinan
k. Persalinan preterm
l. Hipotensi
m. Perdarahan antepartum
n. Ibu perokok
o. Ibu berusia lanjut
p. Lain-lain : sickle cell, penyakit kolagen, anemia, penyakit ginjal, penyakit paru, penyakit jantung, dan penyakit tiroid.
2. JANIN
a. Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
b. Gerakan janin berkurang
c. Suspek lilitan tali pusat
d. Aritmia, bradikardi, atau takikardi janin
e. Hidrops fetalis
f. Kelainan presentasi, termasuk pasca versi luar.
g. Mekoneum dalam cairan ketuban
h. Riwayat lahir mati
i. Kehamilan ganda
j. Dan lain-lain

2.4 Syarat Pemeriksaan KTG
1. Usia kehamilan 28 minggu.
2. Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan).
3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) diketahui.
4. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (pada KTG terkomputerisasi)   sesuai buku petunjuk dari pabrik.

2.5  Persiapan Pasien
a. Persetujuan tindak medik (Informed Consent) : menjelaskan indikasi, cara pemeriksaan dan kemungkinan hasil yang akan didapat. Persetujuan tindak medik ini dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien (cukup persetujuan lisan).
b. Kosongkan kandung kencing.
c. Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.
d. Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter atau gawat janin, ibu tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter / menit.
e. Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan punktum maksimum DJJ
f. Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera setelah kontraksi berakhir.
g. Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di daerah punktum maksimum.
h. Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak, pencet bel yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang dirasakan oleh ibu selama perekaman KTG.
i. Hidupkan komputer dan Kardiotokograf.
j. Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil yang ingin dicapai).
k. Lakukan pencetakkan hasil rekaman KTG.
l. Lakukan dokumentasi data pada disket komputer (data untuk rumah sakit).
m. Matikan komputer dan mesin kardiotokograf. Bersihkan dan rapikan kembali alat pada tempatnya.
n. Beri tahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
o. Berikan hasil rekaman KTG kepada dokter penanggung jawab atau paramedik membantu membacakan hasi interpretasi komputer secara lengkap kepada dokter. PARAMEDIK (BIDAN) DILARANG MEMBERIKAN INTERPRETASI HASIL CTG KEPADA PASIEN

2.6 Alat Kardiotokografi
Alat Kardiotokografi (CTG) atau juga disebut Fetal Monitor adalah alat yang digunakan untuk memeriksa kondisi kesehatan janin. Pemeriksaan umumnya dapat dilakukan pada usia kehamilan 7-9 bulan dan pada saat persalinan. Pemeriksaan CTG diperoleh informasi berupa signal irama denyut jantung janin (DJJ), gerakan janin dan kontraksi rahim. Pada saat bersalin kondisi janin dikatakan normal apabila denyut jantung janin dalam keadaan reaktif, gerakan janin aktif dan dibarengi dengan kontraksi rahim yang adekuat.
Apabila kemungkinan terdapat masalah pada janin maka dokter akan melakukan pemeriksaan NST (non stress test) dengan memberikan infus oksitosin untuk menimbulkan kontraksi rahim (his) dan denyut jantung janin diperiksa dengan CTG. Apabila tampak kelainan pada hasil pemeriksaan CTG maka dokter kandungan akan melakukan tindakan persalinan dengan segera.
Pemeriksaan dengan CTG sangat diperlukan pada fasilitas pelayanan persalinan. Dengan adanya kemajuan teknologi dan produksi harga peralatan CTG dapat menjadi lebih ekonomis. Dahulu hanya rumah sakit yang menyediakannya. Sekarang tidak lagi! Agar pelayanan pemantauan pada ibu hamil dan bersalin berjalan dengan baik rumah bersalin, klinik dokter bahkan bidan praktek swasta sebaiknya memiliki CTG agar tidak ada kasus keterlambatan dalam mendiagnosis adanya masalah pada ibu hamil dan melahirkan.



2.7  Indikasi Pemeriksaan
1. kehamilan dengan komplikasi (darah tinggi, kencing manis, penyakit infeksi kronis dan lain-lain
2. kehamilan dengan berat badan janin rendah
3. oligohidramnion
4. polihidramnion

2.8 Cara Pemeriksaan
1. sebaiknya dilakukan dua jam setelah makan
2. waktu pemeriksaan selama 20 menit
3. selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu maupun bayi
4. bila ditemukan kelainan pada pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan pertolongan yang sesuai.
5.  konsultasi langsung dengan dokter kandungan


2.9 Pengertian Laparoskopi
Laparoskopi adalah suatu instrumen untuk melihat rongga peritoneum. Struktur rongga pelvik dan dapat juga dipakai untuk tindakan operatif. Sejak pertama kali dicatat melihat rongga abdomen dengan alat optic dengan dilakukannya incisi kuldotomi pada tahun 1901, konsep visualisasi rongga pelvis baik untuk prosedur diagnostik maupun operatif mengalami perkembangan yang pesat.
Kelling (1901) merupakan orang yang pertama sekali menggunakan alat Sistoskopi Nitze yang telah ia kembangkan untuk memeriksa organ dalam rongga abdomen. Selanjutnya Kelling mendemonstrasikan pada hewan percobaan dengan melakukan pneumoperitoneum. Pada waktu itu alat tersebut disebut dengan Celioskopi. Pada saat itu metode Kelling ini hanya sedikit mendapat perhatian, tetapi kemudian Swede Jakobaeus (1910) mengembangkan kembali ide Kelling ini dan kemudian memperkenalkan suatu teknik baru yang dapat melihat rongga peritoneum dengan alat optic yang disebut Laparoskopi.
Endoskopi ginekologi di Indonesia mulai berkembang mulaik sekitar tahun 1990-an, sedangkan di dunia internasional dimulai pada tahun 1970-an. Di Indonesia sekarang sudah mulai pesat perkembangannya terutama di pusat-pusat kota, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Yogyakarta. Apalagi telah terbentuk Indonesian Gynecologic Endoscopy Society (IGES), dan Satgas Endoskopi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI).

2.10 Laparoskopi Meminimkan Sayatan
Teknologi dan teknik pembedahan pasien terus mengalami perkembangan. Semuanya tentu demi pemulihan kesehatan pasien. Termasuk penggunaan kamera video untuk melakukan bedah atau lebih dikenal dengan teknik laparoskopi. Bedah dengan menggunakan kamera video sudah banyak digunakan di berbagai rumah sakit di Tanah Air, termasuk Rumah Sakit Awal Bross Batam, yang terus melakukan pengembangan untuk lebih memberdayakan alat tersebut.
Menurut Assistant Business and Development Manager RS Awal Bross Batam, Ingrid Sitawidjaja, alat tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembedahan berbagai penyakit, seperti operasi hernia, varicocele, dan kelenjar gondok. “Perkembangan teknologi telah mengantarkan dunia kedokteran, khususnya bedah, kepada efektivitas dan efisiensi. Teknik bedah minimal invasif, laparoskopi misalnya, menjadi alternatif dari bedah konvensional,” papar Ingrid.
Dengan teknik laparoskopi, proses pembedahan tidak memerlukan sayatan panjang seperti dalam teknik konvensional. Sayatan dalam pembedahan laparoskopi dibuat seminimal mungkin karena proses penyembuhan di dalam tubuh menggunakan alat tertentu yang bisa dipantau secara langsung oleh kamera. “Dengan demikian, banyak keuntungan yang diperoleh pasien, antara lain hospitalisasi yang singkat, nyeri minimal, biaya murah, dan mengurangi ileus,” ucap dia.
Awalnya, laparoskopi dilakukan untuk bedah digestif atau bedah bagian perut dan saluran pencernaan. Belakangan, kasus yang sering ditangani justru bukan hanya saluran pencernaan, melainkan juga cholecystectomy atau pengangkatan kantong empedu dan appendectomy atau pengangkatan usus buntu yang meradang.
Bedah laparoskopi juga bisa diterapkan untuk kasus lengketnya usus, tumor usus, obesitas, hernia, dan kelenjar getah bening. RS Awal Bross Batam juga sudah bisa menangani pembedahan pembesaran kelenjar gondok dengan alat tersebut.

2.11 Pemeriksaan Laparoskopi
Istilah laparoskopi digunakan sebagai cara untuk melihat rongga perut dengan bantuan laparoskop melalui dinding perut depan, yang sebelumnya telah dilakukan pneumoperitoneum.
Laparoskopi sebenarnya telah lama dikenal dengan istilah yang beraneka ragam, antara lain ventroscopy, kolioskopie, abdominoscopy, peritoneoscopy, pelviscopy.  Tetapi istilah yang terkenal saat ini ialah laparoskopi atau pelviscopy.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan melakukan teknik operasi laparoskopi antara lain : turunnya hari perawatan, luka operasi kecil sehingga resiko infeksi lebih kecil
Sedangkan kerugiannya adalah operasi ini memerlukan instrumentasi khusus dan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman melakukan operasi laparoskopi.
2.11.1 Indikasi Pemeriksaan
1. kemandulan yang sulit diterapkan dari luar
2. terdapatnya endometriosis (tercecernya lapisan dalam rahim diluar tempat sebenarnya
3. kemungkina keganasan sedangkan tumornya cukup kecil
4. pengambilan jaringan untuk memastikan kelainan dan penyakit yang diderita pada alat kewanitaannya
2.11.2  Cara Pemeriksaan
1. anjurkan pasien dalam posisi trendelenberg, dengan sudut kemiringan 25-25 derajat.
2. pantat pasien harus lebih menjorok ke depan, melewati ujung meja, agar hidrotubator yang telah dipasang sebelumnya dapat digerakkan bebas untuk manipulasi tertentu.
3. harus selalu dapat memanfaatkan hukum gaya berat dan gravitasi dalam operasi
2.11.3  Cara Penggunaan Laparoscopy

2.12 Penggunaan Laparoskopi Pada Kista Ovarium
Kista ovarium fisiologis merupakan massa di ovarium yang paling umum ditemukan. Kista ini disebabkan oleh karena kegagalan folikel untuk pecah atau regresi. Ukuran kista ovarium fisiologis ini kurang dari 6 cm, permukaan rata, mobile dan konsistensi kistik. Keluhan dapat berupa massa di daerah pelvik maupun ketidakteraturan haid. Terdapat beberapa jenis kista fungsional yaitu kista folikuler, kista korpus luteum, kista teka lutein dan luteoma kehamilan.
Penanganan kista ovarium dapat berupa konservatif maupun operatif. Prosedur pembedahan perlu dilakukan untuk mengetahui asal massa bila dari pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang sulit menentukan asal massa tersebut. Pada tahun 1991, laparoskopi baru digunakan baik sebagai alat diagnosa sekaligus sebagai terapi. Prosedur pembedahan kista ovarium ini dapat berupa kistektomi dan salfingo-ooforektomi. Kelebihan dari tindakan laparoskopi adalah trauma pada dinding abdomen dan resiko perlengketan lebih minimal, waktu operasi lebih singkat dan masa penyembuhan yang lebih cepat dibanding dengan laparotomi.

2.13 Penanganan Kista Ovarium dengan Laparoskopi
Penggunaan laparoskopi untuk penanganan massa di pelvik meningkat satu dekade terakhir ini. Sampai tahun 1990 tidak terdapat panduan secara umum mengenai penggunaan laparoskopi sebagai alat diagnostik maupun terapi untuk kelainankelainan ginekologi. Pada tahun 1991 Dr. Vicki Seltzer mengusulkan panduan penggunaan laparoskopi sebagai alat diagnosis dan terapi. Hulka dkk melaporkan pada suatu survey, dilakukan 13,739 prosedur laparoskopi untuk penanganan massa di ovarium 3. Penggunaan laparoskopi dalam prosedur pembedahan untuk kista ovarium dapat berupa kistektomi dan salfingoooforektomi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, laparoskopi merupakan cara operasi yang lebih aman, efektif, dan dapat meminimalkan resiko seperti seperti perdarahan, infeksi dan cidera organ sekitar dibandingkan bedah konvensional yang menggunakan metode laparotomi.




BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kardiotokografi merupakan salah satu alat elektronik yang digunakan untuk tujuan melakukan pemantauan kesejahteraan janin melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktifitas janin. Laparoskopi adalah suatu instrumen untuk melihat rongga peritoneum. Struktur rongga pelvik dan dapat juga dipakai untuk tindakan operatif.
Persiapan melakukan diagnosis kardiotokografi adalah sebagai berikut:
1.    sebaiknya dilakukan dua jam setelah makan
2.    waktu pemeriksaan selama 20 menit
3.    selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu maupun bayi
4.    bila ditemukan kelainan pada pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan pertolongan yang sesuai.
5.    konsultasi langsung dengan dokter kandungan
Cara pemeriksaan diagnisis Laparoakopi sebagai berikut:
1.    anjurkan pasien dalam posisi trendelenberg, dengan sudut kemiringan 25-25 derajat.
2.     pantat pasien harus lebih menjorok ke depan, melewati ujung meja, agar hidrotubator yang telah dipasang sebelumnya dapat digerakkan bebas untuk manipulasi tertentu.
3.    harus selalu dapat memanfaatkan hukum gaya berat dan gravitasi dalam operasi

2 komentar:

  1. Halo Intan,

    terima kasih atas artikelnya yang informatif. Saya ingin tahu, kira-kira berapa banyak sih (%) fetal monitoring ini dilakukan di luar rumah sakit di Indonesia?

    Dan juga biasanya di gunakan ante-natal atau peri natal?

    Terima kasih.
    Salam

    BalasHapus
  2. Halo Intan,

    terima kasih atas artikelnya yang informatif. Saya ingin tahu, kira-kira berapa banyak sih (%) penggunaan fetal monitoring ini di Indonesia?

    Dan juga % yang dilakukan di luar rumah sakit (contohnya di klinik swasta/puskesmas) di Indonesia?

    terima kasih

    BalasHapus